Cyberlaw atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai hukum cyber
(atau nama lain yang biasa dipergunakan, yaitu hukum sistem informasi)
bukanlah suatu produk baru yang meramaikan istilah dalam dunia teknologi
informasi. Seperti halnya kehidupan fisik
kita, di dunia nyata, di mana terjadi pelanggaran terhadap hak orang
lain, maka muncul suatu undang-undang beserta dengan rentetan
pasal-pasal dan ayat-ayat yang berisi kalimat-kalimat yang melegitimasi
bahwa suatu pelanggaran tersebut dinyatakan salah dan harus diberi
ganjaran sebagai akibat dari usaha-usaha pelanggaran tersebut.
Dunia Cyber (dunia maya, yang identik dengan Internet) pun,
memiliki suatu alat untuk melegitimasi bahwa suatu pelanggaran
dinyatakan salah bila mengganggu kenyamanan, hak, privasi orang/kumpulan
orang lain.
Internet (jaringan global skala besar) memang telah mengubah cara
orang-orang berkomunikasi, bertransaksi, menikmati hiburan, memasarkan
suatu produk barang/jasa dan lainnya. Dunia cyber selalu identik dengan internet. Walaupun demikian, dunia cyber tidak harus selalu berkaitan dengan internet. Hal ini karena, cakupan cyberlaw
itu sendiri tidak hanya terkait dengan semua pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan selama terjadi koneksi internet. Suatu komputer yang
tidak terhubung internet, misalnya hanya intranet, apabila diakses oleh
orang yang tidak berhak, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
dalam cakupan cyberlaw itu sendiri. Cyberlaw untuk dunia cyber. Jika contoh yang baru diberikan tadi termasuk pelanggaran dalam cyberlaw, maka keadaan demikian juga termasuk cakupan dunia cyber.
Bagaimanapun, cyberlaw adalah hukum yang dipergunakan dalam dunia cyber
(dunia maya), yang dalam proses justifikasi dan legitimasi hukumnya
memiliki pendekatan yang sedikit berbeda dengan hukum konvensional. Hal
ini disebabkan, karena dasar dan fondasi hukum konvensional di banyak
negara adalah “ruang” dan “waktu”, sedang dalam dunia maya, kedua
istilah tersebut menjadi tidak berarti. Berikut adalah contoh untuk
mendeskripsikan pernyataan tersebut:
[1] Seorang pelaku pelanggaran komputer (cracker)
berkebangsaan Indonesia, berada di Jepang, melakukan serangkaian teknik
penyadapan data dan informasi terhadap sebuah server di Amerika Serikat,
kemudian server tersebut diobrak-abrik. Server tersebut ditempati (hosting) oleh sebuah perusahaan Belgia. Hukum mana yang berlaku untuk mengadili pelanggaran/kejahatan cracker tersebut?
[2] Seorang cracker asal Indonesia yang tinggal di Singapura
melakukan penyerangan terhadap sebuah server perusahaan di Singapura.
Ia tertangkap, dan diadili, yang kebetulan semuanya berada di Singapura.
Ia diproses dengan hukum yang berlaku di Singapura.
Dalam merancang suatu rancangan undang-undang yang membahas tentang
cyberlaw sebaiknya pengaturan dilakukan dengan peran pemerintah yang
sesedikit mungkin. Apabila terdapat hal-hal yang tidak perlu diatur,
sebaiknya tidak perlu diatur terlebih dahulu. Hal ini, menurutnya,
seperti yang terjadi di Amerika Serikat, peran pemerintah yang terlalu
besar dalam hal pembuatan aturan mengenai hukum cyber ini, akan
menyebabkan banyak penolakan dari masyarakatnya sendiri. Dalam
masyarakat modern seperti masyarakat Amerika Serikat, peran pemerintah
yang terlalu besar akan dicurigai sebagai suatu tindakan akal-akalan
dari pemerintah untuk mengganggu privasi mereka (pengguna teknologi
informasi yang sering “berselancar” di dunia cyber).
Apabila kita telaah lebih jauh, bagaimanapun, Indonesia tidak sama
dengan Amerika Serikat, ditinjau dari segi kultur sosial dan budaya,
masyarakat kita masih memiliki kecenderungan yang besar untuk menerima
suatu pemaksaan dari pemerintah, bukankah undang-undang itu sifatnya
memaksa masyarakatnya untuk patuh terhadap ketentuan yang memiliki
kekuatan legitimasi hukum? Sifat masyarakat kita yang paternalistik
turut andil dalam proses pemaksaan suatu undang-undang.
Dalam proses perkembangannya di Indonesia, cyberlaw masih terkesan
jauh dari benak para pembuat kebijakan, jelas sekali terlihat bahwa
teknologi informasi masih belum menjamah setiap aspek kehidupan
masyarakat Indonesia, yang kontras sekali dengan beberapa negara lain,
misalnya: India, Malaysia, Singapura, Jepang dan lainnya. Banyak
masyarakat kita yang masih merasa komputer beserta perangkat teknologi
informasi lainnya sebagai barang yang rumit, mereka terpukau, tetapi
tidak atau belum mampu menguasainya. Marilah kita telaah sebagian besar
penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pedesaan, perangkat teknologi
informasi justru membuat mereka semakin tidak produktif, karena sumber
daya manusia kita memang belum secara serius dipersiapkan untuk hal ini
(menguasai perangkat teknologi informasi).
Dalam hal perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang
sedemikian pesat seperti saat tulisan ini dibuat, teknologi itu sendiri
telah mengubah pola dan dasar bisnis. Cyberlaw sebaiknya
dibahas oleh orang-orang dari berbagai latar belakang, misalnya:
akademisi, pakar teknologi informasi, teknokrat, orang yang berkecimpung
dibidang hukum, bisnis, birokrat serta pemerintah (simak
tulisan-tulisan lanjutan yang berkenaan dengan topik ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar